Langsung ke konten utama

Rosa

 Namaku Rosa, beberapa bulan ke depan umurku 21 tahun. Aku putri sulung dari empat bersaudara, semua adikku adalah perempuan. Kehidupanku biasa saja, tidak ada yang istimewa. Setiap hari aku melakukan tugas-tugas rumah, jika semuanya sudah selesai, aku biasanya memeriksa notifikasi handphoneku, siapa tahu ada sesuatu yang penting, tapi nyatanya tidak ada. Bermain sosmed adalah salah satu pelarianku dari kejenuhan, karena sekarang aku sedang liburan, dan perkuliahan dimulai bulan depan. Ketika aku scroll up di layar HPku dan melihat postingan teman-temanku yang nampaknya mereka sangat bahagia, terbesit rasa iri di hati, kenapa mereka bisa liburan di masa pandemi ini yang semakin hari kasus COVID-19 semakin bertambah, bahkan kini telah mencapai 1 juta kasus. Tak apa, walaupun aku nggak bisa pergi liburan, setidaknya aku termasuk orang yang peduli, semoga saja pandemi ini bisa berakhir.

Aku hidup di lingkungan keluarga yang patriarki. Ayahku selalu mendambakan kalau ia ingin sekali mempunyai anak laki-laki,  seperti orang yang menyesal. Ketika ayahku bersikap demikian ibuku langsung menegurnya dan bahkan mengomelinya. Ayahku memang tidak bersyukur, padahal anak-anaknya terlahir dengan sehat dan tidak cacat sedikitpun. Aku sudah muak jika ia tiba-tiba mengungkit pernyataan itu. Pernah suatu hari, ketika salah satu penghuni kontrakan ayahku komplain karena ada atap yang bocor, dan suruhan ayahku sebut saja pak Abeng ternyata tidak amanah, padahal sebelumnya ayahku sudah memberitahukan kepadanya ada atap yang bocor dan harus segera diperbaiki, tapi ternyata ia tidak melakukannya. Akhirnya ayahku kesal dan  ia langsung ngedumel,"coba kalo punya anak laki-laki pasti dia yang bantu ayah buat ngebenerin". Ibuku langsung menegurnya dan mengomelinya pada saat itu juga dengan nada yang tinggi, "bersyukur, kita dikasih anak perempuan yang semuanya sehat, belum tentu juga anak laki-laki bisa ngebenerin barang". Mereka pun tak mau kalah dan akhirnya berantem, adu argumen. Itu membuatku sesak. Sebagai anak sulung aku merasa bersalah, karena aku tidak bisa diandalkan untuk mengurus hal-hal itu. Pasti semua anak sulung merasa demikian.

Ketika mereka berantem dan adu argumen dengan nada yang tinggi, ada rasa sakit di hatiku yang tidak bisa aku jelaskan, mungkin ini juga yang dirasakan oleh ibuku. Aku sempat berpikir, bukan kehendakku untuk terlahir seperti ini. Bukankah perempuan dan laki-laki sama-sama bisa diandalkan di setiap bidang jika mereka mampu. Ingin aku berkata hal itu di depan ayahku, tapi aku takut, aku hanya bisa diam. Ini sungguh menyesakkan.

Menurutku, Ibuku adalah seorang feminis  karena dia selalu menasehatiku untuk bisa segala hal dan harus mandiri tidak bergantung kepada suami ketika dewasa nanti. Ia merupakan  role modelku. Ibuku mengajariku untuk bisa menyetir mobil dan motor agar bisa kemana-mana tanpa bergantung kepada suami, dan juga menyuruhku untuk bekerja agar mempunyai penghasilan sendiri. 

Aku berharap ayahku sadar dan dapat mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepadanya. Sebagai anak, aku minta maaf karena belum memberikan sesuatu yang terbaik untuk kedua orangtuaku. Aku berusaha untuk membahagiakan kalian dengan caraku, tidak cepat dan butuh proses yang panjang yang melelahkan. Aku teringat perkataan seseorang, jika setiap orang itu punya waktu yang berbeda dalam mendapatkan keberhasilan/kebahagiaan. Jadi, kalian hanya perlu mendoakanku saja.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan antara Fiqh Al-Lugha dengan Ilmu Al-Lugha

  A.     Pengertian Fiqh al-Lughah dan Ilmu al-Lughah Secara etimologis (dari segi bahasa) kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa kata الفقه     berarti العلم بالشيء و الفهم له   ( pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu) [1] . Singkatnya kata al-fiqh ( الفقه ) = al-’ilm ( العلم ) dan kata faquha ( فقه   ) = ‘alima ( علم ). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah . [2] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Mansur, beliau mengatakan bahwa istilah “ علم اللغة “ memiliki kesamaan dengan istilah فقه اللغة" “ yaitu dari kata فقه" “dan “ علم “ yang dapat diartikan mengetahui atau memahami [3] . Hal ini diperkuat firman Allah swt. dalam QS; Al-Taubah/9: 122   لِیَتَفَقهوا فِى الدِّیْنِ " أَيْ لِیَكُوْنُوْاعُلَمَاءً بهِ “ " Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” [4] Dengan demikian fiqh al-lughah

Terjemahan Bab Mabni dan Mu'rob kitab Jami'u Duruus

4. Kata من   (man) istifhamiyah atau mausuliyah atau mausufiyah atau syartiyah dengan dua tanda jar maka seperti contoh istifhamiyah: ( (مِمَنْ أَنْتَ تَشْكُرُ؟ dan mausuliyah seperti: ( (خذ العلم عمَنْ تثق به dan mausufiyah seperti: ( (عجبت ممَّنْ لك يؤذيك dan syartiyah seperti: ( (ممَّنْ تبتعد ابتعد . -Kata من   (man) istifhamiyah dengan fa’ jariyah seperti: ( (فِيْمَنْ ترغب ان يكون معك؟ dan لا pada kata an an-nasihah untuk mudhori’ seperti: ( (لئلا يعلم اهل الكتاب tidak ada perbedaan pada contoh sebelumnya. Lam ta’lil jariyah dan lam sebelumnya.Mazhab Jumhur dan Abu Hibban dan pengikutnya berpendapat wajib pada pasal. -Kata لا kata in syartiyah al-jariyah seperti: ( (اِلاَّ تفعلوه تكن فتنة اِلاَّ تنصروه الله - Kata لا pada kata kay seperti: ( (لكيلا يكون عليكحرجٌ dan mereka mengatakan pasal ini adalah wajib.Ada dua perkara yang boleh   yaitu al-waslu dan al-faslu di dalam Al-Quran. MABNI DAN MU’ROB DAN AF’AALNYA -Semua fi’il itu adalah mabni dan bukan mu’rob ke

Cinta yang Semu

 Kisah cintaku tak berjalan mulus, seringkali aku hanya merasakan cinta sepihak. Pernah ketika aku SMP  seorang lelaki mengirimiku surat cinta dengan kertas yang sangat harum. Belum pernah selama hidupku dikirimi surat cinta. Itu adalah hal pertama dan terkahir dalam hidupku. Rasanya aku sangat senang, dan kaget. Bagaimana bisa perempuan tak menarik sepertiku mendapatkan surat cinta dari lelaki rahasia. Ketika aku mengungkapkannya pada sahabatku, lelaki ini adalah siswa di kelas lain. Setelah itu, aku sering memerhatikannya. Selanjutnya benih-benih cinta di dalam hatiku muncul. Aku sempat ingin bertanya langsung padanya, apakah benar dia yang mengirimi aku surat itu. Namun, lambat laun itu semua adalah skenario menyakitkan yang aku alami. Singkatnya, surat itu tidak pernah ada. Bukan dia yang mengirimi aku surat. Tapi, sahabatku sendiri. Aku kecewa dengan sahabatku. Kenapa dia mempermainkan hatiku. Kenyataannya yang paling menyakitkan adalah lelaki itu mencintai sahabatku sendiri. Sete