A.
Pengertian
Perenialisme
Berasal dari kata perennial
diartikan sebagai continuing throughout the whole year atau lasting for e very
long time, yakni abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan
demikian, esensi kepercayaan filsafat perenial ialah berpegang pada nilai-nilai
atau norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realiata
social budaya manusia, seperti realita sepohon bunga yang terus menerus mekar
dari musim ke musim,datang dan pergi, berubah warna secara tetap sepanjang
masa, dengan gejala yang terus ada dan sama. Jika gejala dari musim ke musim
itu dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah merupakan benang dengan
corak warna yang khas, dan terus menerus sama (Djumransjah, 2006: 185-186).
Dalam pengertiannya yang lebih umum dapat dikatakan bahwa tradisi
dipandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang
sejarah manusia, karena ini adalah anugrah Tuhan pada semua manusia dan memang
merupakan hakikat insaniah manusia (Muhmidayeli, 2005: 173). Karena esensi
aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau normanorma yang bersifat kekal
dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia, maka prenialisme
dianggap sebagai suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai
kebudayaan masa lampau. Kembali kepada masa lampau dalam konteks aliran ini,
bukanlah dalam pengertian bernostalgia dan sekedar mengingat-ingat kembali pola
kehidupan masa lalu,tetapi untuk membina kembali keyakinan akan nilainilai
asasi masa silam untuk menghadapi problema kehidupan manusia saat sekarang dan
bahkan sampai kapan pun dan di mana pun (Syam, 1998: 295-297).
Dengan demikian maka prenialisme ini menginginkan bahwa budaya,
adat istiadat-istiadat yang terbiasa mereka lakukan merupakan suatu yang abadi,
kekal tanpa akhir. Aliran perenialisme beranggapan bahwa pendidikan harus
didasari oleh nilai-nilai cultural masa lampau, regressive road to culture,
oleh karena kehidupan modern saat ini banyak menimbulkan krisis dalam banyak
bidang (Assegaf, 2011: 193). Perenialisme mengambil jalan regresif karena
mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip
umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman Yunani Kuno dan
abad pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaankepercayaan
aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas, dan nilai dari zaman tersebut
(Assegaf, 2011: 193).
Perenialisme dapat dikenali dengan mudah karena memiliki kekhasan,
diantaranya adalah: pertama, bahwa perenialisme mengambil jalan regresif, yaitu
kembali kepada nilai dan prinsip dasar yang menjiwai pendidikan pada masa
Yunani Kuno dan Abad Pertengahan. Kedua, perenialisme beranggapan bahwa realita
itu mengandung tujuan. Ketiga, perenialisme beranggapan bahwa belajar adalah
latihan dan disiplin mental. Keempat, perenialisme beranggapan bahwa kenyataan
tertinggi itu berada di balik alam, penuh kedamaian, dan transcendental
(Assegaf, 2011: 193-194).
B.
Tujuan
Umum Pendidikan
Tujuan Umum Pendidikan adalah membantu anak menyingkap dan
menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena itu kebenaran-kebenaran itu
universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi
tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai
dengan sebaik-baiknya melalui: 1) Latihan intelektual secara cermat untuk
melatih pikiran, dan 2) Latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan
manusia spiritual. Tujuan pendidikan menurut tokoh-tokoh dalam aliran
perenialisme sebagai berikut : 1) Menurut Plato, tujuan utama pendidikan adalah
membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua
aspek kehidupan 2) Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan adalah membentuk
kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut
aturan moral. 3) Menurut Thomas Aquinas Thomas, tujuan pendidikan adalah
menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata
tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu.
C.
Dasar
Filosofis Perenialisme
Sebagaimana pada perkembagan pemikiran
filsafat umumnya, dasar pemikiran filsafat perenialisme ini pun terlihat dari
keyakinan ontologis mereka tentang manusia dan alam. Aliran ini memandang bahwa
hakikat manusia sebagai makhluk rasional yang akan selalu sama bagi setiap
manusia dimana pun dan sampai kapan pun dalam pengembangan historisitasnya.
Keyakinan ontologis sedemikian, bahwa mereka pada suatu pemikiran, bahwa
kemajuan dan keharmonisan yang dialami oleh manusia disuatu masa akan dapat
pula diterapkan pada manusia-manusia lain pada masa dan tempat yang berbeda,
sehingga kesuksesan masa lalu dapat pula diterapkan untuk memecahkan problem
masa sekrang dan akan datang bahkan sampai kapan pun dan dimana pun
(Muhmidayeli, 2005: 176).
Watak insan ialah luwes, lentur (flexible).
Boleh dilentur, dibentuk dan diubah. Ia mampu untuk menguasai ilmu pengetahuan,
menghayati dan sehat dengan adat-adat, nilai, tradisi atau aliran baru. Atau
meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara intraksi sosial baik
dengan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Proses membentuk
identitas, sifat dan watak atau mengubah dan memupuk serta mengajukan
ciri-cirinya yang unik dinamakan sosialisasi, atau proses” pemasyarakatan.”
Mudah atau susahnya proses ini bergantung pada usia dan cara yang digunakan
untuk sampai kepada tujuan (al-Syaibani, 1979: 156).
D.
Pemikiran
Perenialisme Tentang Pendidikan
Filsafat
perenialisme dalam pendidikan lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari
suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme
memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama
dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Solusi yang ditawarkan
kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban-kuno
(Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa
di dunia dari masa ke masa dan dari abad ke abad. Oleh karena itu, perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal yang dimaksud, education as
cultural regression.
Perenialisme
tidak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang
telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain
kebudayaan dahulu dan kebudayaan abad pertengahan. Perenialisme tidak memiliki
kepercayaan diri bahwa zaman ini tidak akan berubah menjadi baik jika tidak
kembali pada nilai-nilai budaya lama yang dianggapnya ideal dan sudah mapan
(Ahmadi, 2014: 100-101). Perenialisme percaya bahwa seseorang harus megajarkan
hal-hal yang dianggap menjadi kemanfaatan abadi bagi semua orang di mana-mana.
Mereka percaya bahwa topic yang paling
penting adalah mengembangkan seseorang. Karena detail fakta berubah
terus-menerus, ini tidak dapat menjadi yang paling penting. Oleh karena itu,
seseorang harus mengajarkan prinsipprinsip bukan fakta. Karena orang adalah
manusia, kita harus mengajarkan pertama tentang manusia, bukan mesin atau
teknik. Jika semuaya demikian, seorang harus mengajarkan topik liberal, bukan
topic-topik vokasiona (Ahmadi, 2014: 100-101).
Tentang
pendidikan kaum Perenialisme memandang education as cultural regression :
pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan
ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa
lampau yang dipandang sebagai kebudayaan ideal tersebut.Sejalan dengan hal di
atas, penganut Perenialisme percaya bahwa prinsipprinsip pendidikan juga
bersifat universal dan abadi.
Dalam hal
pendidikan, perenialisme memandang bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk
membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini
menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan konstan. Maka jalan untuk
mencapainya adalah melatih intelek dandisiplin mental. Tujuan pendidikan
tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada materi (contend
based, subjectcentered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika,
bahasa, humaniora, sejarah dan lain-lain (Assegaf, 2011: 194-195).
Perenialisme
merupakan aliran filsafat yang medasarkan pada kesatuan, bukan
mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukan membanding-bandingkan;
serta memahami isi, bukan melihat luar atas berbagai aliran dan pemikiran. Maka
dari itu, dapat dikatakan bahwa perenialisme merupakan filsafat yang susunannya
mempunyai kesatuan. Susunan tersebut merupakan hasil pikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Oleh karena itulah,
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas
merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan (Gandhi
HW, 2013: 165).
Aliran ini
meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran
abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya
memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelengaraan pendidikan pun di
mana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar subjek-subjek
didik dapat menyesuaikan diri bukan pada dunia saja, tapi hendaklah pada
hakikathakikat kebenaran. Penyesuaian diri pada kebenaran merupakan tujuan
belajar itu sendiri. Oleh karena itu, para Perenialisme memandang, bahwa
tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan dan disiplin mental. Para
Perenialis percaya, bahwa pemikiran subek-subjek didik akan menjadi nyata
melalui pelatihan-pelatihan intelektual.
Cara mudah
untuk mengajar subjeksubjek didik adalah dengan cara menumbuhkan keinginan
untuk belajar. Realisasi diri sangat tergantung pada disiplin diri, sedangkan
disiplin diri itu sendiri dapat diraih melalui disiplin eksternal. Berdasarkan
pemikiran ini, maka Perenialis sampai suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah upaya
keras untuk memperoleh sesuatu ilmu pengetahuan melalui disiplin tinggi dalam
latihan pengembangan prinsip-prinsip rasional (Muhmidayeli, 2005: 180-181).
E.
Tokoh-tokoh
Perenialisme
1.
Plato
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM
dan meninggal pada tahun 347 SM. Dalam usia 80 tahun. Ia dibesarkan dalam
keluarga bangsawan Athena yang kaya raya, sebuah keluarga Aristokrasi yang
turun temurun memegang peranan penting dalam politik Athena (Hata, 1986: 80).
Ayahnya Ariston mengaku keturunan raja Athena, ibu Plato, Periction, adalah
keturunan keluarga Solon. Seorang pembuat undang-undang, penyair, pemimpin
militer dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena yang terkemuka (Smith,
1986: 29). Plato adalah filsuf idealis, ia memandang dunia ide sebagai dunia
kenyataan. Pokok pikiran plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah
manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan sempurna. Yakni idea,
sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas
normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan pendidikan adalah ”membina
pemimpin yang sadar” dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan. Prinsip-prinsip Plato dalam Pendidikan nampak pada pemikirannya
tentang tujuan hidup adalah untuk mencari kebenaran universal. Sehingga tujuan
pendidikan adalah mengembangkan daya pikiran individu yang bermuara pada
penemuan kebenaran bukan ketrampilan praktis. Pemikiran ini muncul karena Plato
tidak sejalan dengan mayoritas kaum sophis pada waktu yang –menganggap -
pengajaran pada mahasiswa kurang tepat (Smith, 1986: 29).
Menurut Plato, manusia secara kodrati memilki
tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya
berorientasi pada tiga potensi itu dan juga kepada masyarakat. Agar kebutuhan yang ada pada masyarakat dapat
terpenuhi. Ketiga potensi ini merupakan dasar kepribadian manusia. Karena itu
struktur sosial didasarkan atas dasar pandangan kepribadian ini. Dengan
pertimbangan ketiga potensi itu tidak sama pada setiap individu, berikut penjelasannya: (a) Manusia yang besar potensi rasionya,
inilah manusia kelas pemimpin kelas sosial tertinggi; (b) Manusia yang dominan
potensi kemauannya, ialah manusia prajurit, kelas menengah; dan (c) Manusia
yang dominan potensi nafsunya, ialah rakyat jelata, kaum Pekerja (Syam, 1998:
321).
2.
Aristoteles
Ia
lahir di Stageira ,suatu kota kecil di semenanjung Kalkidike di Trasia (Balka) pada tahun 384 SM dan meninggal di
Kalkis pada tahun 322 SM. Bapaknya bernama Nichomachus, seorang dokter istana
yang merawat Amyintas II raja Macedonia (Smith, 1986: 35). Sejak kecil ia
mendapat asuhan dan keilmuan langsung dari ayahnya sendiri sampai berumur 18
tahun. Setelah ayahnya meninggal ia pergi ke Athena dan belajar pada Plato di
Akademia selama 20 tahun. Ide-ide Plato dikembangkan oleh Aristoteles dengan
lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Aristoteles terutama menitikberatkan
pembinaan berfikir melalui media sciences. Pandangan Aristoteles lebih realis
dari pandangan Plato, hal ini dikarenakan cara belajar kepada ayahnya yang
lebih menekankan pada metode pengamatan.
Aristoteles menganggap pembinaan kebiasaan sebagai dasar. Terutama dalam
pembinaan kesadaran disiplin atau moral, harus melalui proses permulaan dengan
kebiasaan di waktu muda. Secara ontologis, ia menyatakan bahwa sifat atau watak
anak lebih banyak potensialitas sedang guru lebih banyak mempunyai aktualitas.
Bagi aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara
seimbang (Hadiwijono, 1986: 104).
3.
Augustino
Steuco Augustino Steuco
Ia
lahir di kota pegunungan Umbrian di daerah Gubbio antara tahun 1497 atau awal
kelahirannya tahun 1512 atau 1513 dan menetap hingga tahun 1517. Selanjutnya
pada tahun 1518-1552 sebagian waktunya digunakan untuk mengikuti perkuliahan di
Universitas Bologna. Di situlah ia mulai tertarik pada bidang bahasa dengan
banyak belajar bahasa Aram, Syiria, Arab dan Etiopia disamping bahasa
Yunani. Steuco adalah sarjana al Kitab
dan seorang teolog. Dalam banyak hal ia mewakili sayap liberal teolog Katolik
dan studi skriptual abad XVI. Karyakarya seperti Cosmopedia (1545) dan De
Perenni Philosophia jelas menunjukkan pandangan yang liberal, yang mencoba
untuk mensejajarkan antara berbagai tradisi filsafat pagan dengan tradisi
ortodoks, akan tetapi disisi lain
pandangan konservatifnya juga tetap tampak dengan ketegarannya menolak ajaran
Calvin, terutama Martin Luther. Steuco menganggap ajaran tradisi agama-agama
pagan dan non Kristen lebih dapat diterima daripada ajaran pada pembaharu,
Lutherianisme. Karya paling termasyhur dari Steuco adalah De Perenni
Philosophia, karya yang mendapat sambutan hangat dikalangan pemikir hingga dua
abad kemudian. Pada abad XVI buku tersebut mendapat penghargaan yang sedemikian
tinggi sehingga Kaspevon Barth (1587-1658) menyebutnya sebagai “A Golden Book”
dan Daniel George Marhof (1639-1691) merujuknya sebagai “Opus Admirable” namun
kemasyhuran itu berangsurangsur mulai dilupakan hingga kemudian Willman menemukannya
kembali pada akhir abad XIX.
Kunci
pemikiran filsafat Steuco terlihat pada pandangannya bahwa terdapat “prinsip
tunggal dari segala sesuatu” yang satu dan selalu sama dalam pengetahuan
manusia. Menurut Steuco agama merupakan kemampuan alamiah manusia untuk
mencapai kesejatian. Agama merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk menjadi
manusia, dan merupakan vera philosophia (fisafat sejati), yaitu filasafat yang
mengarah kepada kesalehan dan kontemplasi pada Tuhan. Filsafat dan agama yang
sejati selalu mendorong untuk menjadi subyek Tuhan melakukan apa yang Tuhan
inginkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, hingga menjadi “seperti”
Tuhan. Dari sebuah keluarga bangsawan.
Ia mempelajari karya-karya besar Aritoteles dan ikut serta dalam berbagai perbedaan.
Thomas merupakan seorang tokoh yang sebagian ajarannya menjadi penuntun
perenialisme (Barnadib, 1997: 63). aryanya yang utama adalah Suma Contra
Gentiles dan Summa Theologiae (Tafsir, 2005: 98). Seperti halnya Plato dan Aristoteles tujuan
pendidikan yang diinginkan oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan
kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata.
Tingkat aktif dan nyata yang timbul ini bergantung dari kesadaran-kesadaran
yang dimiliki oleh tiap-tiap individu. Dalam hal ini peranan guru mengajar dan
member bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada
padanya. Aquinas juga mengakui potensi martabat manusia sebagai makhluk intelek
sekaligus sebagai makhlik susila. Manusia dapar melakukan reflektif thinking
tetapi juga manusia tak mungkin menolak dogma sebagai divine truth yang tidak
rasional, melainkan supernasional.
4.
Sayyed
Hossein Nasr
Sayyed
Hossein Nasr adalah seorang filsuf dan mistikus yang dilahirkan pada tahun 1933
di Teheran, ia dikenal sebagai salah satu cendekiawan muslim yang mempunyai
wawasan sangat kaya tantang khasanah islam. Karyanya yang sangat terkenal
adalah “Science and Civilization in islam”, sebuah buku yang diangkat dari
disertasinya tentang sejarah sains. Nasr mengatakan bahwa filsafat perenial
adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan ada yang bersifat universal. “Ada”
yang dimaksud adalah berada pada setiap jaman dan setiap jaman dan setiap
tempat karena prinsipnya yang universal. Pengetahuan yang diperoleh melalui
intelektualitas ini terdapat dalam inti semua agama dan tradisi. Realisasi dan
pencapaiannya hanya mungkin dilakukan melalui metodemetode, ritus-ritus,
simbol-simbol, gambar-gambar dan sarana-sarana lain yang disucikan oleh asal
ilahiah atau (divine original) yang menciptakan setiap tradisi.
Ketertarikannya
kepada tradisi mulai muncul, ketika ia bertemu sejarawan sains Giogio de
Santillana, yang kemudian memperkenalkannya kepada literatur tentang Hinduisme
karya Rene Guenon. Dari Guenon, jalan ke para tradisionalis lain terbuka:
Coomaraswamy, Schuon, dan sebagainya. Di Taheran ia menjumpai fukaha yang
menganggap filsafat sebagai ilmu kafir. Di saat inilah ia memutuskan untuk
belajar ilmu-ilmu tradisional Islam di madrasah. Ia menjalani pendidikan ini
selama 10 tahun, di bawah bimbingan beberapa ulama terkenal, di antaranya
Allamah Thabathaba’i. Hingga tahun 1978, belasan buku ditulisnya. Di antaranya
yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah Sains dan Peradaban dalam
Islam, Tiga Pemikir Islam, dan Tasawuf Dulu dan Sekarang.
Dalam
masa 20 tahun, karirnya pun menanjak cepat. Buku-buku monumental seperti 2
jilid Islamic Spirituality dan History of Islamic Philosophy, serta ratusan
artikel lain telah ditulisnya. Tak ketinggalan adalah kaset dan CD pembacaan
puisi-puisi Rumi. Hingga akhirnya, puncak pengakuan akan capaian filsafat
Profesor Kajian Islam di Universitas GeorgeWashington ini diperolehnya sebagai
tokoh dalam The Library of Living Philosophers.
F.
Hakikat
Guru
Tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru,
di mana tugas pendidikannya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat
tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan. Berikut
pandangan aliran perenialisme mengenai guru atau pendidikan: 1) Guru mempunyai
peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas. 2)
Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli
(a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru
dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan
dan keahliannya tifdak diragukan.
G.
Hakikat
Murid
Murid dalam aliran perenialisme merupakan
makhluk yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenarankebenaran abadi,
pikiran menyangkut dunia biologis. Hakikat pendidikan upaya proses transformasi
pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup totalitas aspek
kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena
yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan
harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,
intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun
secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan.
H.
Proses
Belajar Mengajar
Tuntutan
tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin
mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntunan
tersebut. Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama: a) Mental
dicipline sebagai teori dasar Menurut Perenialisme berpendapat latihan dan
pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar, atau
keutamaan dalam proses belajar. b) Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas
berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Makna kemerdekaan pendidikan
hendaknya membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya dari
makhluk yang lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan itu, yaitu
aktualisasi diri manusia sebagai makhluk rasional yang bersifat merdeka. c)
Learning to Reason (belajar untuk berpikir) Bagaimana tugas berat ini dapat
dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir. Perenialisme tetap percaya
dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan
membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan
pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah
menengah dan pendidikan tinggi.
I.
Kurikulum
Kurikulum
menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada
seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara cultural para siswa harus
berhadapan dengan bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang
diciptakan oleh manusia. Kurikulum perenialis didasarkan pada tiga asumsi
mengenai pendidikan : a. Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran
manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun
juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu b. Karena kerja
pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan gagasan,
pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan- gagasan, pengolahan
rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan c. Pendidikan harus
menstimulus para siswa untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasan gagasan
signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis sebagai
metoda pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
J.
Analisis
Kelebihan dan Kelemahan Terhadap Konsep Dasar Aliran Perenialisme
a.
Kelebihan
Perenialisme mengangkat kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang
menjadi pandangan hidup yang kokoh pada zaman kuno dan abad pertengahan. Pada
kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Kurikulum menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada seni dan
sains. Perenialisme tetap percaya terhadap asas pembentukan kebiasaan dalam
permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan
landasan dasar. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Dalam pendidikan perenialisme, siswa diberi kebebasan untuk mengembangkan bakat
dan kemampuannya dan siswa diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya.
Siswa belajar untuk mencari tahu sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan
yang timbul di awal pembelajaran.
Membentuk output yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah memilki
keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupan
masyarakat.
b.
Kelemahan
Perenialisme , yaitu pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang
memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini
menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terkait pada
tempat dan waktu aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. Perenialis kurang
menerima adanya perubahan-perubahan, karena menurut mereka perubahan banyak
menimbulkan kekacauan, ketidakpastian,dan ketidakteraturan, terutama dalam
kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Fokus perenialis mengenai kurikulum adalah
pada disiplindisiplin pengetahuan abadi, hal ini akan berdampak pada kurangnya
perhatian pada realitas peserta didik dan minat-minat siswa. Mengabaikan kurikulum yang telah ditentukan,
yang menjadi tradisi sekolah. Mengurangi bimbingan dan pengaruh guru. Dalam pendidikan perenialisme, siswa menjadi
orang yang mementingkan diri sendiri, ia menjadi manusia yang tidak memiliki
self discipline, dan tidak mau berkorban demi kepentingan umum.
K.
Simpulan
Esensi
aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau normanorma yang bersifat kekal
dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia, maka prenialisme
dianggap sebagai suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai
kebudayaan masa lampau. Kembali kepada masa lampau dalam konteks aliran ini,
bukanlah dalam pengertian bernostalgia dan sekedar mengingat-ingat kembali pola
kehidupan masa lalu,tetapi untuk membina kembali keyakinan akan nilainilai
asasi masa silam untuk menghadapi problema kehidupan manusia saat sekarang dan
bahkan sampai kapan pun dan di mana pun. Dengan demikian maka prenialisme ini
menginginkan bahwa budaya, adat istiadat-istiadat yang terbiasa mereka lakukan
merupakan suatu yang abadi, kekal tanpa akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Siregar , Raja Lottung . 2016. Teori
Belajar Perenialisme . Jurnal Al-hikmah Vol. 13, No. 2,ISSN 1412-5382.
Raja
Lottung Siregar,
Teori Belajar Perenialisme, Jurnal Al-hikmah Vol. 13,
No. 2, Oktober 2016, hal 3.
Komentar
Posting Komentar