Ketika perempuan menjadi pemimpin dalam suatu keluarga, komunitas, bahkan masyarakat sering kali orang-orang ‘primitif’ mengunderestimetkan kinerja seorang pempimpin perempuan kurang baik daripada seorang pemimpin laki-laki. Alasan mereka sangat klasik yaitu ketika perempuan menjadi seorang pemimpin pasti ia lebih banyak menggunakan perasaan dari pada logika, memandang sesuatu dari sisi subjektif bukan objektif.
Kenyataannya, kinerja pemimpin perempuan lebih apik ketimbang pemimpin laki-laki. Dalam pandemik ini banyak pemimpin perempuan yang berhasil mengurangi tingkat penyebaran virus COVID-19 di Negara mereka, misalnya Selandia Baru dengan Perdana Menteri Jacinda Ardern, Taiwan dengan Presiden Tsai Ing-wen, dan Jerman dengan Kanselir Angela Merkel, dan lain-lain.
Di Indonesia ada Tri Rismaharini yang kerap disapa dengan Bu Risma seorang Walikota Surabaya yang sukses dalam meredam kasus COVID-19 di daerahnya, berkat beliau kasus COVID-19 di Surabaya dapat berkurang. Tak ayal, beliau mendapatkan penghargaan dari Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan (HAKLI) atas keberhasilan program Intervensi Kesehatan Lingkungan dalam Pencegahan dan Penanganan COVID-19.
Dilansir dari media kompas.com yang dikutip dari South China Morning Post, pemimpin perempuan dinilai mampu memberikan reaksi dan mengikuti temuan ilmiah dengan lebih cepat. Selain juga lebih siap dalam mengambil risiko ekonomi guna melindungi kehidupan warganya dibandingkan dengan pemimpin laki-laki dalam kondisi yang sama. Hal ini menjadi latar belakang satu hasil penelitian akademis, bahwa Anda akan lebih aman (dalam kondisi pandemi Covid-19) jika tinggal di negara yang dipimpin oleh seorang perempuan. Ini membuktikan bahwa perempuan yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas dalam kepemimpinan dapat memimpin anggotanya dengan lebih baik dari pada laki-laki. Jadi, alasan ketika perempuan memimpin akan membawa malapetaka karena ia lebih banyak menggunakan perasaannya itu salah.
Bahkan, ada Hadits yang menyatakan bahwa seorang pemimpin perempuan akan membawa malapetaka bagi rakyatnya, kita, sebagai seorang manusia yang berakal dan berbudi luhur, seyogyanya kita tidak boleh langsung menelan ‘mentah-mentah’ sebuah informasi apalagi langsung menjadikannya sebuah dalil. Ketika kita menjadikan Hadist sebagai dalil kita harus mengulik Hadist tersebut secara mendalam, karena dalam Hadist terdapat tingkatan untuk menjadikannya sebuah dalil.
Hadist yang menyatakan bahwa seorang pemimpin perempuan akan membawa malapetaka bagi rakyatnya adalah bukan Hadist Sohih, dan asbabul wurud dalam Hadist tersebut adalah di mana sebuah daerah dipimpin oleh seorang bocah perempuan yang belum dewasa usianya yang seharusnya menikmati masa kecilnya malah ia harus menanggung beban rakyatnya padahal ia sendiri tidak memiliki kredibilitas dan kapabilitas dalam kepemimpinan. Oleh sebab itu daerah yang ia pimpin kacau, karena pemimpinnya adalah bocah kecil yang belum bisa membedakan yang mana yang benar dan salah. Maka dari itu, maksud dari Hadist ini adalah seseorang yang akan menjadi pemimpin baik perempuan atau laki-laki harus memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam memimpin agar ia dapat memimpin rakyatnya dengan baik dan tentunya ia sudah dapat membedakan mana yang Haqq dan Bathil.
Andai semua orang mencerna Hadist ini dan tidak mengulik asbabul wurudnya mungkin sampai saat ini tidak akan ada pemimpin perempuan. Untunglah masih banyak para cendikiawan yang dapat meluruskan ilmu-ilmu yang masih perlu penjelasan lebih lengkap sehingga ilmu-ilmu tersebut dapat ‘dikonsumsi’ oleh kita.
Komentar
Posting Komentar