Langsung ke konten utama

Sejarah Perkembangan Kamus Bahasa Arab

 A.   Sejarah Perkembangan Kamus Bahasa Arab

Leksikologi merupakan sebuah cabang ilmu linguistik yang mengkaji kosa-kata dan maknanya. Secara sederhana, leksikologi disamaartikan sebagai kamus. Hal ini tampak pada pengertian kamus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan sebagai buku yang berisi kumpulan istilah atau nama yang disusun menurut abjad beserta penjelasan tentang makna atau penggunaannya. Sedangkan leksikografi (Ilm al-Shina’ah al-Mu’jamiyah) merupakan bagian dari linguistik terapan diartikan sebagai pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan menggunakan sistematika tertentu tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang berkualitas, mudah dan lengkap. Kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan, sebab tanpa leksikografi, leksikologi hanya berkutat pada kajian teoritis dan perdebatan tentang makna tanpa bisa menghasilkan produk-produk berupa kamus-kamus yang berkualitas.

Dalam bahasa Arab, kata kamus diartikan denganالقاموس  (al-qamus) atau المعجم (al-mu’jam). Perbedaan dua kata tersebut dapat dilihat secara etimologi dan terminologi.

Secara etimologi, al-mu’jam diambil dari asal kata al-‘ujm (العجم) yang secara literal berarti, “Bukan orang Arab atau orang yang tidak fasih berbicara, sekalipun ia keturunan Arab”.

Selain itu, Ibnu Jinni dalam kitabnya Sirr Sina’ati al-‘Irab (سر صناعة الاعراب) mengatakan bahwa م ج ع (akar kata mu’jam) dalam percakapan Arab dipakai untuk menunjukkan makna al-ibham (اللإبهام) dan al-ikhfa’ (الإخفاء) yaitu tidak jelas dan menyembunyikan yang merupakan akronim (lawa kata) dari kata al-bayan (البيان  ) dan al-ifsah (الإفصاح).

Secara istilah, makna mu’jam yang digunakan orang Arab adalah suatu kitab yang menghimpun sejumlah kata (mufradat) suatu bahasa yang disertai dengan penjelasan atau tafsiran maknanya. Kata-kata tersebut disusun sedemikian rupa, berdasarkan teknik khusus (Emil Ya’qub, 1985).

Sedangkan, kata al-qamus yang memiliki makna al-bahr (البحر) atau al-bahr al-muhit (البحر المحيط) yang berarti, “Laut atau laut yang luas” (Emil Ya’qub, 1985). Berbeda halnya dengan kata mu’jam, kata qamus pada mulanya tidak langsung digunakan oleh para ulama Arab dalam karyanya, mereka lebih suka menamai karya mereka yang berkaitan dengan leksikologi dengan sifat yang terikat pada makna qamus.

Contohnya penggunaan kata المحيط (yang meliputi, yang luas) yang mensifati kata al bahr. Hal ini dilakukan oleh Ibnu `Ibad (938-995 M) dengan leksikografis miliknya yang berjudul al-muhit (المحيط). Ibnu Saydah (1007-1066 M) yang menyebut mu’jam miliknya dengan al-Muhkam wa al-Muhit al-A’zam (المحكم و المحيط الأعظم). Sedangkan, kata qamus sendiri pertama kali digunakan dalam sebuah ensiklopedi berjudul القاموس المحيط yang ditulis oleh Fairuzabadi (1329-1415 M).

Pada abad ke-2 hijriah ketika periwayatan menjadi profesi dan orang-orang semisal Abu Amr bin 'Ala (w. 154 H) dan Hamad al-Rawiyah (w. 155 H) mencurahkan tenaganya dalam periwayatan ini, syarat terpenting bagi orang yang dipandang memiliki kapasitas untuk dijadikan sumber pengambilan bahasa adalah mereka yang kasar kulitnya dan fasih pengucapannya[1]. Hingga pada akhirnya timbul kesadaran di kalangan masyarakat Badui yang tinggal di pedalaman akan bernilainya ucapan mereka. Bahkan sebagian orang badui pergi ke Basrah atau Kufah beralih profesi menjadi perawi bahasa. Jadi, pada awalnya, proses pemaknaan kosakata dalam bahasa Arab bermula melalui metode pendengaran (al-sima’) yaitu pengambilan riwayat oleh para ahli bahasa dengan cara mendengarkan langsung perkataan orang-orang Badui. Kemudian, metode pendengaran bergeser ke metode analisis (qiyas), yaitu pemaknaan kata dengan menggunakan teori-teori tertentu yang dibuat oleh para ahli bahasa. Salah satu metode qiyas yang mengedepankan derivasi kata melalui tehnik khusus yang dikenal dengan Taglibul-Kalimah dari Khalil yang nantinya melahirkan kamus fonetik.

Tuntutan untuk mengajar bahasa Arab kepada orang muslim non-arab turut melahirkan ilmu bahasa, yaitu tata bahasa, ortografi, sintaks, leksikologi. Dilanjutkan pada tahun 69 hijriyah Abul Aswad Al-Duali (69 H/689 M) orang pertama sebagai peletak tata bahasa Arab dalam bentuk sistematis. Diikuti Pada masa Al-Hajjaj, gubernur Irak dan provinsi-provinsi timur penetapan tanda-tanda yang dipakai sekarang. Dan dialah yang memasukkannya ke dalam tulisan Al-Qur'an pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685- 705). Selanjutnya para khalifah Umawi mendorong rakyatnya yang berbakat untuk meletakkan fondasi bahasa. Buku-buku Al-Asma'i berisi kosakata tentang hewan dan tumbuhan disusun berdasarkan maknanya bukan ejaannya. Diikuti dengan dimulainya penyusunan kamus-kamus bahasa Arab dengan pendekatan makna atau kamus ma'ani. Memasuki era Abbasiyah, kemunculan kamus-kamus ma'ani mulai berkurang seiring dengan perkembangan ilmu metodologis Islam, seperti nahwu, fiqih, tafsir, dan sebagainya. Di era ini, penyusunan kamus-kamus bahasa Arab mulai menggunakan sistematika leksikografi tertentu yang lebih mengedepankan kata daripada makna, sehingga muncul kamus-kamus alfadz.

Karya al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.170 H) dengan kitabnya al-‘Ayn (كتاب العين )  merupakan kamus Arab pertama dan terlengkap yang memiliki pola penyusunan menarik. Diterbitkan pada abad-8 dan disusun berdasarkan fonetik dari huruf ع (ain) yang letaknya paling dalam (ujung tenggorokan) dan diakhiri dengan huruf م (mim) yang letaknya paling luar (bibir). Kamus ini menjadi rujukan dari semua karya leksikografi bahasa Arab setelahnya (Kees Versteegh, 1997).

Adapun perkembangan leksikografi Arab terdiri dari tahap non-sistemik, tematik, dan sistemik. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya  ظهر الإسلام, proses non-sistemik diawali dengan melakukan penelitian ke pelosok desa yang dipandang belum tersentuh dan bercampur dengan kebudayaan asing. Para ahli bahasa juga membuat kesepakatan terhadap bahasa yang timbul oleh tiruan bunyi alam.

Pada fase tematik, beberapa kata yang telah disepakati dikumpulkan berdasarkan topik tertentu, lalu mulailah penyusunan kamus secara sistemik dan komprehensif sehingga menghasilkan sebuah kamus dengan teknik penyusunan yang berbeda-beda. Pada mulanya, leksikologi bahasa Arab muncul karena kebutuhan orang Arab akan penafsiran lafaz-lafaz Al-Qur’an dan keinginan yang kuat untuk memelihara kitab suci Al-Qur’an dari kesalahan pengucapan dan pemahaman. Namun, pada saat diturunkannya Al-Qur’an bangsa Arab merupakan bangsa yang kurang memperhatikan pentingnya kodifikasi bahasa. Seperti yang diketahui, kodifikasi bahasa digunakan untuk mempertahankan sebuah bahasa dan menjaga eksistensi suatu kaum.

Mayoritas bangsa Arab yang buta huruf dan lebih senang berbahasa lisan menjadi faktor pendukung lain timbulnya keterlambatan untuk menyadari kodifikasi bahasa. Padahal sejak zaman Rasulullah Saw budaya mencatat kosa-kata sudah dilakukan. Secara keilmuan, umat Islam mengalami keterlambatan, namun secara praktiknya jauh sebelum munculnya ilmu leksikografi pada masa Abbassiyah, umat Islam telah mempraktikkan proses pencatatan kata (leksikologi sederhana).

Hal ini didasarkan pada argumen bahwa sebuah ilmu tidak serta merta langsung jadi dan matang, tentunya terdapat cikal bakal atau benih sebelumnya.

Pada masa Rasulullah Saw ketika menyampaikan wahyu kepada para sahabatnya dan terdapat kata-kata yang sulit dimengerti, Rasul langsung menerangkannya dan beberapa sahabat mencatat penjelasan terhadap kata-kata sulit, salah satunya Ibn Abbas.

Dalam sebuah dialog, Ibn Abbas ditanya tentang arti kata كنود dalam ayat إن الإنسان لربه لكنود . Beliau menjawab الكفور النعم وهو الذي يكفر وجده و يمنع رفده ويجيع عبده كنود berarti, “Orang-orang yang mengingkari nikmat yakni mengingkari keberadaannya, tidak mau memberikannya, membuat orang lain lapar (Ahmad Saehudin, 2005).

Keahlian Ibn Abbas menjelaskan dan menafsirkan kata-kata dalam Al-Qur’an ini menghasilkan sebuah karya yang dinisbatkan padanya yaitu kamus غريب القرآن. Tidak terlepas dari fase-fase perkembangan leksikografi bahasa Arab, para ahli bahasa terus melakukan kodifikasi bahasa untuk menambah khazanah kebahasaan hingga saat ini. [2]

B. Macam-macam Kamus

Kamus yang digunakan oleh masyarakat sangat beragam sesuai dengan kapasitas penyusun dan tujuan penggunaannya. Berbicara tentang macam-macam kamus, beberapa linguis memiliki pembagian tersendiri dan tentunya bervariasi. Namun dari beberapa tokoh linguis dapat diambil kesimpulan bahwa kamus dapat dibagi berdasarkan kategori-kategori berikut[3]:

 1. Ditinjau dari segi tema:

a)      Kamus bahasa (al-mujam al-lughawi), yaitu kamus yang meliputi kata-kata atau istilah-istilah kebahasaan dengan penjelasan secara bahasa, misalnya kamus al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir, al-Kalali karya As'ad M. al-Kalâlî,  kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus, dan lain-lain.

b)      Kamus ensiklopedi (al-mu'jam al-mausai), yaitu kamus yang tidak hanya menyajikan peristilahan, tetapi juga dilengkapi dengan konsep dan penjelasan secara luas, misalnya al-'Arabiyah al-Muyassarah karya Lembaga kearaban, Ensiklopedi Islam Departemen Agama RI karya Abdul Hafizh Anshari dan kawan-kawan dalam bahasa Indonesia.

c)      Kamus historis (al-mu jam al-târikhi), yaitu kamus yang melacak asal dan perkembangan bahasa dari masa ke masa, misalnya kamus Maqâyis al-Lughah karya Ibnu Fâris, al-Muhith karya al-Fairûzabadi dan lain-lain

2. Ditinjau dari segi jumlah bahasa yang digunakan:

a)      Kamus ekabahasa (al-mujam al-uhâdi al-lughah), yaitu kamus yang menjelaskan makna kata atau istilah dalam suatu bahasa dengan bahasa itu. Dengan kata lain kamus ini hanya menggunakan satu bahasa dalam penjelasan makna, misalnya al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lâm karya Louis Ma’luf, Lisân al-Arab karya Ibnu Manzhûr, Oxford Advanced Leaner's Dictonary of Cyrrent English karya A.S. Hornby, dan lain-lain.

b)      Kamus dwibahasa (al-mu jam alsumai al-lughah), yaitu kamus yang menjelaskan makna kata atau istilah dengan bahasa lain. Misalnya al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir, Qamus al-Tarbiyah Arabiyya-Injiliziyah karya al-Khúli dan lainlain.

c)      Kamus multibahasa (al-mu’jam al-'adid al-lughah), yaitu kamus menjelaskan makna kata atau istilah dalam suatu bahasa dengan dua bahasa atau lebih, misalnya Kamus Indonesia-Arab-inggris karya Abdullah bin Nuh dan Omar Bakri, al-Mu’jam al-Falsafi (Arab-Inggris-Prancis, Jerman, dan Latin) karya 'Abd al-Mun’im al-Hifni, dan lain-lain.

3. Ditinjau dari segi materinya:

a)      Kamus umum (al-mujam al-âm), yaitu kamus yang memuat segala macam kata dalam suatu bahasa, misalnya al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir, al-Munjid fi al-Laughah wa al-A’lam karya Louis Ma'luf.

b)      Kamus khusus (al-mu’jam al-khásh), yaitu kamus yang hanya memuat kata-kata atau istilah-istilah dalam bidang tertentu, misalnya Qâmůs al-Tarbiyah ArabiyyaInjiliziyah karya al-Khúli, Dictionary of Modern Linguistics karya Sami Iyad Hanna dan kawan-kawan, Mu’jam Gharib al-Fiqh karya Muhammad Fu'ad.

4.  Ditinjau dari segi susunannya:

a)      Kamus alfabetik (al-mu’jam al-fabá'i), yaitu kamus yang memuat kata-kata atau istilah-istilah dengan maknanya secara alfabetik/abjadi. Pada umumnya kamus disusun secara alfabetik dalam menjelaskan makna dari A sampai Z atau dari alif sampai ya. Misal al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam karya Louis Maluf, al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir dan lain-lain.

b)      Kamus tematik (al-mujam al-maudhu'i), yaitu kamus yang memuat penjelasan katakata atau istilah-istilah secara lengkap berdasarkan tema-tema tertentu, misalnya The Cultural Atlas of Islam karya Ismail Râji al-Farüqi dan Louis Lamyâ al-Fårůqi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh lyas Hasan menjadi Atlas Budaya Islam. Taufiqurrochman menambah dua jenis kamus mutaakhir yaitu kamus digital dan kamus Online.

C. Tokoh Leksikologi Arab

Adapun tokoh- tokoh leksikologi Arab diantaranya yaitu[4]:

1)      Khalil bin Ahmad Al-farahidi ( w.100- 170H ) lahir di desa Azad, Oman. Namun, ia tumbuh besar dan belajar ilmu-ilmu agama di kota Bashrah, Irak. Dalam menempuh pendidikan, Khalil selalu ikut di dalam majelis ilmu yang diasuh oleh Isa bin Amr dan Abu Amr bin Al-‘Alla’.  Isa bin Amr merupakan imam di bidang ilmu bahasa Arab dan ilmu qiraat. Sedangkan Abu Amr bin Al-‘Alla’ adalah guru besar di bidang ilmu bahasa Arab yang selalu menjadi panutan Khalil dalam meneliti tata bahasa dan fenomena para penutur bahasa Arab. Khalil pun tumbuh menjadi salah satu ulama terbesar di bidang ilmu bahasa Arab. Ia juga mahir di bidang ilmu matematika, ilmu syariat, dan seni musik. Melalui karyanya yang berjudul Mu’jam  Al-‘Ain, ia sebagai peletak dasar-dasar leksikologi, sehingga tak berlebihan jika Khalil disebut sebagai ‘Bapak Leksikolog Arab’.

2)      Abu Amr Assyaibani ( w.110-206 H/728-821 M) lahir di desa Ramadah, dekat dengan kota Kufah. Ibunya berasal dari suku Nabtiyah dan nasabnya bersambung ke Bani Syaibani. Dari KufahAbu Amr pindah ke kota Baghdad dan menetap di sana hingga meninggal dunia. Ia adalah ulama yang paling memahami dialek dan bahasa bangsa Arab. Bahkan ia dikenal sebagai ulama yang paling paham tentang kalimat-kalimat asing (gharib-al nawadir). Sejak masa remaja, ia gemar belajar bahasa Arab bersama kawan-kawannya di seluruh pelosok desa dan bergaul dengan orang-orang badui di pelosok  untuk memahami dialek dan bahasa Arab yang mereka ucapkan. Akhirnya, ia pun menulis beberapa buku yang memuat koleksi bahasa dan dialek orang Kufah dan Baghdad sekaligus. Abu Amr Assyaibani juga tercatat sebagai penyusun kamus tematik pertama dalam sejarah leksikologi Arab, beberapa diantaranya, kamus Al-Jim, Al-Khalil, Al-Lughaat dan lain sebagainya.

3)      Abu Mansyur Al Azhari Al Harawi ( w.282 – 370H/ 895 – 981 M ) diberi gelar “Al-Harawi” karena ia lahir dan wafat di desa Hirah, Khurasan. Abu Mansyur Al Azhari telah menulis kitab, seperti Tadzhib Al-Lughah. Latar belakangnya adalah sosial masyarakat di sekitar Abu Mansyur Al Azhari yang selalu menjunjung tinggi bahasa Arab Fushah, dan menolak intervensi bahasa Arab ammiyah (pasaran). Tadzhib Al-Lughah berarti “usaha untuk membenarkan atau mengembalikan kemurnian bahasa Arab”.

4)      Ibnu Jinni ( w.320-390 H/932-1001 M) nama lengkapnya adalah Abul Fath Utsman bin Jinni Al-Mushily.  Ia adalah ulama terkenal di bidang ilmu nahwu dan sastra. Masa kecilnya dihabiskan di kota Mosul, Irak. Konon, ayahnya bekerja sebagai pembantu setia seorang hakim di Mosul bernama Sulaiman bin Fahd Al-Azdi. Sekalipun demikian, status sosial itu tidak menyurutkan Ibnu Jinni menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan seperti anak-anak lainnya. Karya ilmiah yang berhasil ditulis oleh Ibnu Jinni mencapai 67 buku. Namun, bukunya yang paling populer hingga kini adalah Al-Khashaish, sebuah buku yang isinya komprehensif meliputi dasar-dasar ilmu nahwu, kaidah usul fiqh, dan nahwu, dan analisis leksikologis terhadap makna-makna kosakata bahasa Arab.

5)      Mahmud Yunus (10 Februari 1899-16 Januari 1982)  beliau lahir di desa Sungayang Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Mahmud Yunus dilahirkan dari keluarga terkemuka di Nagari Sungayang dan memiliki nuansa keagamaan yang kuat[5]. Ayahnya adalah seorang petani bernama Yunus bin Incek dan Ibunya bernama Hafsah binti M.Thahir. Tahun 1924, Mahmud Yunus berangkat ke Kairo untuk belajar di al Azhar dalam bidang ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, fikih Hanafi dan sebagainya. Hanya dalam tempo setahun, dia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar dan menjadi orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat itu. Sekitar perempat terakhir abad ke-20 (1972) beliau menyusun kamus “Arab-Indonesia”.[6] Dalam kamus ini, selain berisi kata-kata Arab baru, diterangkan juga tafsirtafsir sulit yang tidak dapat diketahui dengan kaidah-kaidah (wazan-wazan) ilmu sharaf, melainkan harus dihafal dan didengar dari orang Arab asli. Itulah yang dinamai kata-kata sama’i. Dalam susunannya, kamus ini menetapkan lema (entri) dalam bentuk fi’il madhi, sehingga pencarian kata dalam bentuk apapun harus dekembalikan ke bentuk asalnya (fi’il madhi).

6)      Asad M. Al-Kalali beliau dilahirkan pada tahun 1904 di Cirebon, putra dari syekh Muhammad bin Salim al-Kalali, pendiri majalah Al-Imam (1908) yang memiliki visi misi sama dengan majalah Al-Manar Mesir yang dimotori oleh Muhammad Rasyid Ridha. Sejak kecil Al-Kalali telah belajar bahasa Arab dari ayahnya, kemudian setelah menginjak usia sekolah beliau banyak belajar bahasa Arab dari sekolah Al-Irsyad yang didirikan oleh Syekh Muhammad Surkati Ansori dan Syekh Muhammad Al-Aqib yang dikemudian hari Al-Aqib ini dipercaya sebagai mufti negara Sudan. Pada tahun 1923, Al-Kalali menjadi tenaga pengajar di sekolah al-Irsyad yang berada di Jakarta, Cirebon dan Surabaya. Beliau adalah seorang penyusun kamus yang diberi nama “Kamus Indonesia-Arab Al-Kalali”. Dalam penyusunan kamus ini, penyusun memberikan pendahuluannya dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Ukurannya yang sedang dan ketebalannya yang hanya 598 halaman menjadikan kamus ini bersifat portable yang mudah untuk di bawa ke mana-mana. Sebagaimana lazimnya dalam kamus-kamus lain, kata-kata dalam kamus ini disusun menurut urutan alfabet. Yang menjadi patokan adalah huruf pertama dari tiap pokok kata atau kata dasar. Kamus ini tidak menggunakan tanda-tanda sebagaimana kamus-kamus lainnya, melainkan menggunakan singkatan-singkatan dalam kurung yang bertujuan untuk menjelaskan kata yang dimaksud.

7)      Ahmad Warson Munawwir (30 November 1934-18 April 2013) beliau merupakan penyusun kamus  Arab-Indonesia terlengkap yang dinamai “Kamus Al-Munawwir”. Bila dilihat dari ukuran dan jumlah halamannya yang mencapai 1701 halaman, kamus ini termasuk jenis kamus besar yang bersifat umum. Kamus ini tidak mencantumkan daftar rujukan dalam sebuah halamannya, sehingga agak kesulitan untuk mengetahui sumber pengambilan data yang ada dalam entri. Namun menurut sumber lisan yang terpercaya, kamus ini merupakan turunan dari kamus Arab ekabahasa Al-Munjid yang ditulis oleh pendeta katolik bernama Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i yang dicetak oleh sebuah percetakan katolik sejak tahun 1908. Karena kamus ini merupakan turunan dari kamus Al-Munjid, maka entry-entry yang terkandung di dalam kamus Al-Munawwir sesuai dengan kamus Al-Munjid, hanya saja bahasa penjelas kamus Al-Munawwir  ini adalah bahasa Indonesia. Dan kalaupun ada perbedaan antara keduanya dalam beberapa hal, misalnya dari segi desain kamus, hal itu karena harus menyesuaikan dengan kondisi lokal.

 

    SIMPULAN

Dari paparan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa leksikologi adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan maknanya. Ia merupakan kajian linguistik teoritis. Sedangkan leksikografi (Ilm al-Shina’ah al-Mu’jamiyah) merupakan bagian dari linguistik terapan diartikan sebagai pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan menggunakan sistematika tertentu tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang berkualitas, mudah dan lengkap. Kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan, sebab tanpa leksikografi, leksikologi hanya berkutat pada kajian teoritis dan perdebatan tentang makna tanpa bisa menghasilkan produk-produk berupa kamus-kamus yang berkualitas.

Lahirnya ilmu leksikologi dan leksikografi ini tidak terlepas dari sejarah yang panjang dan para tokoh yang luar biasa. Kamus memiliki bermacam-macam jenis dan komponen-komponen khas di dalamnya. Beberapa tokoh linguis mengambil kesimpulan bahwa kamus dapat dibagi berdasarkan kategori-kategori berikut yaitu dapat ditinjau dari segi tema, segi jumlah bahasa yang digunakan, segi materinya, dan dari segi susunannya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Hayani, Fitri. 2019.  Leksikografi Arab, E-Jurnal: Shaut Al-Arabiyyah Vol.7 No.1 Tahun 2019 (UIN Yogyakarta)

Zaenal, “Linguistik Arab”, https://myplugoart.blogspot.com/2017/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_28.html?m=1  (diakses pada 17 Juni 2021, pukul 15:12)

 

Masril, Eficandra,  Mohd. Nasran Muhammad, dkk. 2011. Prof. Dr. Mahmud Yunus: Tokoh Mujaddid dari Minangkabau, (Selangor: Jabatan Syariah, Fakulti Pengkajian Islam, UKM,)

 

Busro, Muh. 2016. Sejarah Perkamusan Bahasa Arab di Indonesia, (El-Wasathiya: Jurnal Studi Islam Volume 4, Nomor 2, Desember 2016; p-ISSN 2338-9648, e-ISSN: 2527631X, STAINU, Madiun)  

 

https://mjscolombo.com/sejarah-leksikologi-bahasa-arab/#:~:text=Perkembangan%20leksikografi%20bahasa%20Arab%20Dalam%20sejarah%20leksikografi%20Arab%2C,disusun%20secara%20sistematik%20dilakukan%20pada%20abad%20kedua%20hijriah. Di akses pada tanggal 20 Juni 2021 pukul 20:05 WIB

 



[1] Fitri Hayani, Leksikografi Arab, E-Jurnal: Shaut Al-Arabiyyah Vol.7 No.1 Tahun 2019 (UIN Yogyakarta) Hal.4

[3]  Fitri Hayani, Op.Cit, Hal.6

[4] Zaenal, “Linguistik Arab”, https://myplugoart.blogspot.com/2017/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_28.html?m=1  (diakses pada 17 Juni 2021, pukul 15:12)

[5] Eficandra Masril, Mohd. Nasran Muhammad, dkk. Prof. Dr. Mahmud Yunus: Tokoh Mujaddid dari Minangkabau, (Selangor: Jabatan Syariah, Fakulti Pengkajian Islam, UKM, 2011) hal.135

[6] Muh. Busro. Sejarah Perkamusan Bahasa Arab di Indonesia, (El-Wasathiya: Jurnal Studi Islam Volume 4, Nomor 2, Desember 2016; p-ISSN 2338-9648, e-ISSN: 2527631X, STAINU, Madiun) hal. 24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan antara Fiqh Al-Lugha dengan Ilmu Al-Lugha

  A.     Pengertian Fiqh al-Lughah dan Ilmu al-Lughah Secara etimologis (dari segi bahasa) kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa kata الفقه     berarti العلم بالشيء و الفهم له   ( pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu) [1] . Singkatnya kata al-fiqh ( الفقه ) = al-’ilm ( العلم ) dan kata faquha ( فقه   ) = ‘alima ( علم ). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah . [2] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Mansur, beliau mengatakan bahwa istilah “ علم اللغة “ memiliki kesamaan dengan istilah فقه اللغة" “ yaitu dari kata فقه" “dan “ علم “ yang dapat diartikan mengetahui atau memahami [3] . Hal ini diperkuat firman Allah swt. dalam QS; Al-Taubah/9: 122   لِیَتَفَقهوا فِى الدِّیْنِ " أَيْ لِیَكُوْنُوْاعُلَمَاءً بهِ “ " Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” [4] Dengan demikian fiqh al-lughah

Terjemahan Bab Mabni dan Mu'rob kitab Jami'u Duruus

4. Kata من   (man) istifhamiyah atau mausuliyah atau mausufiyah atau syartiyah dengan dua tanda jar maka seperti contoh istifhamiyah: ( (مِمَنْ أَنْتَ تَشْكُرُ؟ dan mausuliyah seperti: ( (خذ العلم عمَنْ تثق به dan mausufiyah seperti: ( (عجبت ممَّنْ لك يؤذيك dan syartiyah seperti: ( (ممَّنْ تبتعد ابتعد . -Kata من   (man) istifhamiyah dengan fa’ jariyah seperti: ( (فِيْمَنْ ترغب ان يكون معك؟ dan لا pada kata an an-nasihah untuk mudhori’ seperti: ( (لئلا يعلم اهل الكتاب tidak ada perbedaan pada contoh sebelumnya. Lam ta’lil jariyah dan lam sebelumnya.Mazhab Jumhur dan Abu Hibban dan pengikutnya berpendapat wajib pada pasal. -Kata لا kata in syartiyah al-jariyah seperti: ( (اِلاَّ تفعلوه تكن فتنة اِلاَّ تنصروه الله - Kata لا pada kata kay seperti: ( (لكيلا يكون عليكحرجٌ dan mereka mengatakan pasal ini adalah wajib.Ada dua perkara yang boleh   yaitu al-waslu dan al-faslu di dalam Al-Quran. MABNI DAN MU’ROB DAN AF’AALNYA -Semua fi’il itu adalah mabni dan bukan mu’rob ke

Cinta yang Semu

 Kisah cintaku tak berjalan mulus, seringkali aku hanya merasakan cinta sepihak. Pernah ketika aku SMP  seorang lelaki mengirimiku surat cinta dengan kertas yang sangat harum. Belum pernah selama hidupku dikirimi surat cinta. Itu adalah hal pertama dan terkahir dalam hidupku. Rasanya aku sangat senang, dan kaget. Bagaimana bisa perempuan tak menarik sepertiku mendapatkan surat cinta dari lelaki rahasia. Ketika aku mengungkapkannya pada sahabatku, lelaki ini adalah siswa di kelas lain. Setelah itu, aku sering memerhatikannya. Selanjutnya benih-benih cinta di dalam hatiku muncul. Aku sempat ingin bertanya langsung padanya, apakah benar dia yang mengirimi aku surat itu. Namun, lambat laun itu semua adalah skenario menyakitkan yang aku alami. Singkatnya, surat itu tidak pernah ada. Bukan dia yang mengirimi aku surat. Tapi, sahabatku sendiri. Aku kecewa dengan sahabatku. Kenapa dia mempermainkan hatiku. Kenyataannya yang paling menyakitkan adalah lelaki itu mencintai sahabatku sendiri. Sete