Langsung ke konten utama

Miskonsepsi Makna Fitnah "Pesona" Perempuan

 Seorang ustaz menulis: bahwa perempuan memasang foto diri di media sosial akan terus mendapat 'dosa sosial' yang mengalir dalam tabungan amal perbuatannya. Selama foto itu terpasang dan memesona laki-laki, maka dosa itu terus mengalir sekalipun ia sedang berbuat baik. Itu adalah bentuk 'dosa jariah', katanya.

Bukankah sang ustaz juga sadar bahwa foto dirinya sendiri yg terpasang dalam media sosial tersebut, atau bahkan di tempat lain, apalagi dalam bentuk video, juga bisa memesona perempuan. Bukankah ia juga memperoleh 'dosa sosial' sekalipun ia berceramah dan beribadah? Mengapa hanya pesona perempuan yang disasar? Mengapa hanya perempuan yang dianggap menggoda dan memesona laki-laki? Tidakkah laki-laki juga banyak yg membuat para perempuan dan tergoda? Banyak juga perempuan yg terpesona oleh para ustaz, baik karena wajah yg ganteng, harta yg banyak, atau penyampaian ilmu yg menawan. Apalagi artis, aktor, dan figur publik laki-laki, bukankah banyak di antara mereka yg memesona?

Dengan alasan 'fitnah' dan penggoda ini, mengapa hanya perempuan yg harus dikontrol, dibatasi, dan seringkali disalahkan? Mengapa laki-laki yg juga punya potensi memesona dan menggoda dibiarkan  leluasa melakukan semua aktivitas mereka? Tanpa kontrol dan batasan. Tanpa dijadikan sumber kesalahan dan dosa sosial. Padahal, tidak sedikit dari laki-laki yg menggoda dan menjerumuskan, melakukan berbagai keburukan sosial di ranah publik, bahkan melakukan kekerasan terhadap perempuan? 

Bukankah yg mesti dikontrol adalah kecenderungan destruktif dari keduanya, bukan asal jenis kelamin perempuan semata? Dalam QS. Surat An-Nur ayat 30-31 justru yg dianjurkan untuk menjaga diri dari fitnah dan godaan nafsu adalah laki-laki dan perempuan sekaligus, mengapa realitas lalu justru perempuan yg banyak disalahkan? Ini menjadi kegelisahan karena sejatinya Islam hadir untuk memberikan rahmat dan kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan. 

Kata fitnah dalam bahasa Al-Quran adalah kata yg juga memiliki makna timbal balik. Fitnah secara umum berarti ujian dan cobaan, yg dalam beberapa ungkapan Al-Quran hal itu bisa berada dalam relasi timbal balik antara dua pihak. 

Misalnya, kebaikan adalah fitnah, keburukan juga fitnah (QS. Al-Anbiya [21]:35), rasul adalah fitnah bagi kaumnya dan kaumnya adalah fitnah baginya (QS. Ad-Dukhan [44]:49 & QS. Al-Maidah [5]:49), bahkan, disebutkan secara tegas bahwa setiap orang adalah fitnah bagi yg lain, atau sebagian orang atas sebagian yg lain (QS. Al-An'am [6]:53 & QS. Al-Furqon [25]:20). 

Dengan cara pandang relasional ini, substansi fitnah tidak hanya melekat pada tubuh perempuan saja tetapi laki-laki pun demikian. Ungkapan istilah 'fitnah' dalam Al-Quran lebih proposional bila dibandingkan dengan teks hadits bahwa perempuan adalah fitnah yg paling membahayakan. Ungkapan 'fitnah' dalam Al-Quran juga bersifat resiprokal. Oleh karena itu, anjuran-anjuran keagamaan yg didasarkan pada 'fitnah' perempuan harus dipahami substasi persoalannya dan konteks sosialnya. 

Dengan demikian, ayat dan hadits fitnah perempuan sama sekali tidak bisa dijadikan dasar untuk merendahkan dan mendeskreditkan mereka. Tidak bisa juga untuk memuliakan laki-laki dan melecehkan perempuan. Potensi fitnah pada diri perempuan yg disebut oleh ayat dan hadits, tidak membuat mereka lebih rendah dari laki-laki karena dua alasan fundamental. 

Pertama, karena prinsip meritokrasi Islam di mana kemuliaan didasarkan pada keimanan dan amal perbuatan. Kedua, bahwa potensi fitnah itu juga ada pada pihak laki-laki, yg tentu saja tidak membuat mereka lebih jahat dari perempuan. Jika kita beriman dengan dua pondasi ini, segala cara pandang diskriminatif terhadap perempuan dengan basis asumsi fitnah dapat dihentikan. Gantinya, kita perlu menumbuhkan cara pandang positif terhadap kemanusiaan perempuan, sebagaimana pada laki-laki. Cara pandang positif ini menjadi modal untuk memperbesar basis kesalingan dan kerja sama dalam mewujudkan kehidupan yg lebih baik, di ranah keluarga maupun sosial. 


Terimakasih, 

Selamat membaca :) 

Semoga bermanfaat 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan antara Fiqh Al-Lugha dengan Ilmu Al-Lugha

  A.     Pengertian Fiqh al-Lughah dan Ilmu al-Lughah Secara etimologis (dari segi bahasa) kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa kata الفقه     berarti العلم بالشيء و الفهم له   ( pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu) [1] . Singkatnya kata al-fiqh ( الفقه ) = al-’ilm ( العلم ) dan kata faquha ( فقه   ) = ‘alima ( علم ). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah . [2] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Mansur, beliau mengatakan bahwa istilah “ علم اللغة “ memiliki kesamaan dengan istilah فقه اللغة" “ yaitu dari kata فقه" “dan “ علم “ yang dapat diartikan mengetahui atau memahami [3] . Hal ini diperkuat firman Allah swt. dalam QS; Al-Taubah/9: 122   لِیَتَفَقهوا فِى الدِّیْنِ " أَيْ لِیَكُوْنُوْاعُلَمَاءً بهِ “ " Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” [4] Dengan demikian fiqh al-lughah

Terjemahan Bab Mabni dan Mu'rob kitab Jami'u Duruus

4. Kata من   (man) istifhamiyah atau mausuliyah atau mausufiyah atau syartiyah dengan dua tanda jar maka seperti contoh istifhamiyah: ( (مِمَنْ أَنْتَ تَشْكُرُ؟ dan mausuliyah seperti: ( (خذ العلم عمَنْ تثق به dan mausufiyah seperti: ( (عجبت ممَّنْ لك يؤذيك dan syartiyah seperti: ( (ممَّنْ تبتعد ابتعد . -Kata من   (man) istifhamiyah dengan fa’ jariyah seperti: ( (فِيْمَنْ ترغب ان يكون معك؟ dan لا pada kata an an-nasihah untuk mudhori’ seperti: ( (لئلا يعلم اهل الكتاب tidak ada perbedaan pada contoh sebelumnya. Lam ta’lil jariyah dan lam sebelumnya.Mazhab Jumhur dan Abu Hibban dan pengikutnya berpendapat wajib pada pasal. -Kata لا kata in syartiyah al-jariyah seperti: ( (اِلاَّ تفعلوه تكن فتنة اِلاَّ تنصروه الله - Kata لا pada kata kay seperti: ( (لكيلا يكون عليكحرجٌ dan mereka mengatakan pasal ini adalah wajib.Ada dua perkara yang boleh   yaitu al-waslu dan al-faslu di dalam Al-Quran. MABNI DAN MU’ROB DAN AF’AALNYA -Semua fi’il itu adalah mabni dan bukan mu’rob ke

Cinta yang Semu

 Kisah cintaku tak berjalan mulus, seringkali aku hanya merasakan cinta sepihak. Pernah ketika aku SMP  seorang lelaki mengirimiku surat cinta dengan kertas yang sangat harum. Belum pernah selama hidupku dikirimi surat cinta. Itu adalah hal pertama dan terkahir dalam hidupku. Rasanya aku sangat senang, dan kaget. Bagaimana bisa perempuan tak menarik sepertiku mendapatkan surat cinta dari lelaki rahasia. Ketika aku mengungkapkannya pada sahabatku, lelaki ini adalah siswa di kelas lain. Setelah itu, aku sering memerhatikannya. Selanjutnya benih-benih cinta di dalam hatiku muncul. Aku sempat ingin bertanya langsung padanya, apakah benar dia yang mengirimi aku surat itu. Namun, lambat laun itu semua adalah skenario menyakitkan yang aku alami. Singkatnya, surat itu tidak pernah ada. Bukan dia yang mengirimi aku surat. Tapi, sahabatku sendiri. Aku kecewa dengan sahabatku. Kenapa dia mempermainkan hatiku. Kenyataannya yang paling menyakitkan adalah lelaki itu mencintai sahabatku sendiri. Sete