Pasti kalian sering mendengar ucapan: “nggak baik loh perempuan sering pulang malam apalagi kalo sendirian” ungkapan ini seakan-akan perempuan itu ruang geraknya sangat terbatas tidak sebebas laki-laki. Mengapa demikian?
Ulama-ulama kontemporer, seperti Muhammad Al-Ghazali, Abu Syuqqah, dan Al-Qaradhawi mensinyalir bahwa fatwa-fatwa yang mengekang perempuan lebih banyak didasarkan pada cara berpikir sadd al-dzariah (menutup jalan) yang seringkali berlebihan. Yaitu, logika pengambilan pandangan dan hukum Islam dengan melihat akibat buruk yang ditimbulkan oleh keberadaan perempuan di ranah sosial, sehingga harus dicegah, ditutup atau dilarang, untuk mengurangi dampak buruk yang terjadi di masyarakat, termasuk dampak bagi perempuan. Seks bebas, kekerasan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan terhadap perempuan itu terjadi karena kehadiran tubuh perempuan di tempat-tempat yang dianggap tidak semestinya. Jika logika ini terus dikembangkan dan tanpa kontrol, maka perempuan akan terus menerus menjadi sasaran segala bentuk pengekangan dan pelarangan.
Ketika wacana otonomi daerah digulirkan pada awal Reformasi, beberapa daerah mengusulkan rancangan peraturan daerah (PERDA) yang melarang perempuan keluar pada malam hari tanpa ditemani laki-laki. Peraturan seperti ini banyak mengandung kontradiksi dengan realitas yang sesungguhnya. Bahkan, dari bacaan syariah juga tidak ada larangan perempuan keluar pada malam hari. Pelarangan ini muncul dari metode dan logika sadd al-dzariah yang menempatkan perempuan sebagai sumber masalah.
Beberapa logika yang kontradiktif, misalnya, ketika beralasan pada kemungkinan diperkosa, mengapa perempuan yang akan diperkosalah yang dilarang keluar pada malam hari, sementara laki-laki yang berkemungkinan memperkosa tidak dilarang keluar pada malam hari. Pelarangan perempuan keluar dari pada malam hari akan mengurangi praktek jual beli seks juga sama sekali tidak benar. Sebab, jual beli seks tidak pernah mengenal waktu dan tempat, dan terjadi karena ada permintaan besar dari pihak pengguna, terutama laki-laki. Mengapa perempuan yang diburu, bukan laki-laki yang mejadi customer yang diburu? Di Negara Swedia, kebijakan yang dikeluarkan justru memburu dan menangkap pelanggan PSK. Dan kebijakan ini efektif mengurangi praktek prostitusi secara drastic di Negara tersebut.
Kontradiksi lain adalah menghambat perempuan dari aktivitas yang untuk beberapa orang hanya bisa dilakukan pada malam hari. Misalnya, mengunjungi keluarga yang sedang membutuhkan pertolongan, belanja ke pasar tradisional pada malam hari karena di berbagai pedesaan banyak yang dimulai pada pukul 2 dini hari yang kebanyakan penjual dan pembelinya adalah perempuan atau ibu-ibu pebisnis UKM. Belum lagi ditambah kerja-kerja layanan kesehatan dan sosial yang dilakukan perempuan.
Jika belajar pada dinamika syariah Islam tentang konsep mahram dalam perjalanan bagi perempuan, beberapa ulama klasik dari mazhab Syafi’i, seperti yang diceritakan Ibnu Hajar al-Asqallani, ada yang membolehkan perempuan berpergian sendirian selama bisa dipastikan perjalanan itu aman bagi mereka. Pandangan ini dihadirkan Ibnu Hajar al-Asqallani ketika menafsirkan hadits mahram perjalanan perempuan, di mana sebagian ulama menyatakan harus kerabat laki-laki, terutama suami. Tetapi, sebagian memandang rombongan perempuan bisa menjadi mahram bagi yang lain. Dengan demikian, fokus konsep mahram perjalanan ini adalah bagaimana mewujudkan keamanan dan perlindungan bagi setiap orang yang akan berpergian, bukan pelarangan perempuan berpergian atau aktivitas publik.
So, pelarangan ini sangat amat membatasi ruang gerak perempuan. Perempuan juga harus mengekspersikan diri mereka dan juga memenuhi kehidupan mereka tanpa adanya pembatasan ruang lingkup baik ranah domestik maupun publik. Bukankah kita berhak mendapatkan hak kita sebagai WNI untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Terimakasih dan,
Selamat membaca :)
Semoga bermanfaat
Sukakkkkkk. Lanjuttttt
BalasHapusMakasiii kk stay tune terus yaa
Hapus