Langsung ke konten utama

Benarkah Aisyah R.A. Menikah pada Usia Kanak-kanak?

Beberapa tahun lalu, kita sempat  digegerkan dengan sebuah kasus unik yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Semarang, Jawa Tengah, yaitu terjadinya pernikahan antara Syeh Puji Cahyo W. yang telah berumur 45 tahun dengan Lutfiana Ulfah yang baru berumur 11 tahun 8 bulan. Menurut Syeh Puji, landasan dalam melaksanakan pernikahan ‘nyentrik’ tersebut adalah meniru perbuatan Nabi Muhammad pada saat menikahi ‘Aisyah ra.

Melihat hal yang menimbulkan kontroversi tersebut, timbul pertanyaan  benarkah Nabi Muhammad menikahi ‘Aisyah pada saat ia (‘Aisyah) berumur 7 tahun dan baru digauli pada umur 9 tahun? Untuk menjawab rasa keingintahuan tersebut, maka saya ingin menyadurkan sebuah jurnal penelitian yang kevalidannya telah dibuktikan melalui penelitiannya tersebut. Dari tulisan ini, dapat dibuktikan bahwa apa yang dilakukan Syeh Puji merupakan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Selain itu, tujuan utama dari hasil penelitian ini adalah untuk menjaga keagungan pribadi Nabi Muhammad saw. dari ‘mulut-mulut’ orang yang tidak bertanggung jawab.


Nabi merupakan manusia teladan, semua tindakannya paling patut dicontoh. Sehingga kita, muslim, dapat meneladaninya. Bagaimana pun, kebanyakan orang, termasuk saya, tidak akan berpikir untuk menikahkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.


Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri di bawah 16 tahun. Tahun 1931, sidang dalam organisasi-organisasi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur di bawah 16 tahun. Ini memperlihatkan, bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim, pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima. Tidak hanya di Mesir, undang-undang pernikahan di Indonesia pun mewajibkan usia minimal pernikahan untuk perempuan adalah 16 tahun, dan untuk laki-laki 18 tahun.

Jadi, penulis percaya, tanpa bukti yang solid pun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis berumur 7 tahun (‘Aisyah) dengan Nabi Muhammad yang berumur 50 tahun adalah mitos semata.

Nabi memang seorang yang gentleman. Beliau tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadits. Lebih jauh, penulis pikir, bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadis  yang menceritakan mengenai umur ‘Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi Muhammad, ternyata hadis-hadis tersebut sangat bermasalah. Penulis telah  menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyam ibnu ‘Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan orang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

BUKTI #1: PENGUJIAN TERHADAP SUMBER

Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadis yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisyam ibn ‘Urwah yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, di mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadis serupa juga. Adalah aneh, bahwa tak ada seorang pun di Madinah, di mana Hisyam ibn ‘Urwah tinggal sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, di samping kenyataan banyaknya murid-murid di Madinah termasuk yang kesohor, Malik ibn Anas tidak menceritakan hal ini.
Asal riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisyam tinggal di sana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua.

 Tahzibu'l Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadits, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat: "Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq" Dalam pernyataan lebih lanjut, bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq. "Saya pernah diberi tahu, bahwa Malik menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq."

Mizanu'l Ai’tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadits Nabi saw. mencatat: "Ketika sudah tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok."


KESIMPULAN: Berdasarkan referensi ini, dapat diketahui, bahwa ingatan Hisyam sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan ‘Aisyah adalah tidak kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M       : Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M              : turun wahyu pertama AbuBakr menerima Islam
613 M              : Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M              : Hijrah ke Abyssinia.
616 M              : Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M              : dikatakan Nabi meminang ‘Aisyah
622 M              : Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M      : dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan ‘Aisyah


BUKTI#2: MEMINANG
Menurut Ath-Thabari juga menurut Hisyam ibn ‘Urwah, Ibn Hanbal dan Ibn Sa’d), ‘Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain Ath-Thabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakar (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya."
Jika ‘Aisyah dipinang pada tahun 620 M (‘Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan, bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Ath-Tabari, ‘Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M). Ath-Thabari juga menyatakan, bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika ‘Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal ‘Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikahi oleh Nabi Muhammad. Tetapi, intinya Ath-Thabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: Ath-Thabari tak reliable mengenai umur ‘Aisyah ketika menikah.

BUKTI # 3: UMUR ‘AISYAH JIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UMUR FATIMAH
Menurut Ibn Hajar; "Fatimah dilahirkan ketika Ka’bah dibangun kembali, ketika Nabi Muhammad saw. berusia 35 tahun. Umur Fatimah 5 tahun lebih tua daripada ‘Aisyah."
Jika statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti ‘Aisyah dilahirkan ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Jika ‘Aisyah dinikahi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia ‘Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibn Hajar, Thabari, Ibn Hisyam, dan Ibn Hanbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata, bahwa riwayat ‘Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.


BUKTI #4: UMUR ‘‘AISYAH DIHITUNG BERDASARKAN UMUR ASMA'
Menurut Abdurrahman ibn Abi Zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibandingkan ‘Aisyah. Menurut Ibn Katsir: "Asma lebih tua 10 tahun daripada adiknya (‘Aisyah)."
Menurut Ibn Katsir, Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun."
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H. Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, saudara tertua ‘Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun pada tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika ‘Aisyah berumah tangga), ‘Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, ‘Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun di mana ‘Aisyah berumah tangga. Berdasarkan Ibn Hajar, Ibn Katsir, dan Abdurrahman Ibn Abi Zanna'd, usia ‘Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti #3, Ibn Hajar memperkirakan usia ‘Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksikan dirinya sendiri dengan pernyataannya usia ‘Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi, mana usia yang benar, 12 atau 18?
KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia ‘Aisyah.

BUKTI #5: PERANG BADAR DAN UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi ‘Aisyah dalam perang Badar dijabarkan dalam hadits Muslim. ‘Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar mengatakan: "Ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, bahwa ‘Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai partisipasi ‘Aisyah dalam perang Uhud tercatat dalam Bukhari. "Anas mencatat, bahwa pada hari perang Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri di dekat Rasulullah. (Pada hari itu) saya melihat ‘Aisyah dan Ummi Sulaim dari jauh. mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut)." Lagi-lagi, hal ini menunjukkan, bahwa ‘Aisyah ikut berada dalam perang Badar dan Uhud.


Diriwayatkan oleh Bukhari: "Ibn ‘Umar menyatakan, bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada saat itu, Ibnu ‘Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tersebut."
Berdasarkan riwayat di atas: (a) Anak-anak berusia di bawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang (b) ‘Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud.
KESIMPULAN: ‘Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan, bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Di samping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain adanya kontradiksi usia pernikahan ‘Aisyah.


BUKTI #6: SURAT AL-QAMAR (BULAN)
Menurut beberapa riwayat, ‘Aisyah dilahirkan pada tahun kedelapan sebelum Hijriyah. Tetapi, menurut sumber lain dalam Bukhari, ‘Aisyah tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda (dalam Bahasa Arab disebut jariyah) ketika Surah Al-Qamar diturunkan.”
Surat Al-Qamar diturunkan pada tahun kedelapan sebelum hijriyah menunjukkan, bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. Jika ‘Aisyah memulai berumah tangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, maka pada saat itu ‘Aisyah masih bayi yang baru lahir (dalam Bahasa Arab disebut Sibyah) ketika Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara aktual tampak, bahwa ‘Aisyah adalah gadis muda bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain. Jadi, ‘Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikahi Nabi Muhammad saw.
KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan ‘Aisyah yang berusia 9 tahun.

BUKTI #7: TERMINOLOGI BAHASA ARAB
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati beliau untuk menikah lagi. Nabi Muhammad bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (Bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (Thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (Bikr), Khaulah menyebutkan nama ‘Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat, bahwa kata bikr dalam Bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah seperti dinyatakan di muka adalah jariyah. Bikr di sisi lain digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan virgin. Oleh karena itu, tampak jelas, bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah wanita bikr
KESIMPULAN: Arti literal kata, bikr (gadis), dalam hadits di atas adalah wanita dewasa yang belum punya pengalaman seksual dalam pernikahan. Oleh karena itu, ‘Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada saat menikah.


BUKTI #8. TEKS AL-QUR'AN
Seluruh muslim setuju, bahwa Al-Quran adalah kitab petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Al-Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia ‘Aisyah dan pernikahannya. Apakah Al-Quran mengijinkan atau melarang pernikahan gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Al-Qur'an mengenai perlakuan anak yatim juga valid diaplikasikan pada anak-anak kita. Ayat tersebut mengatakan: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (Qs. An-Nisa: 5). “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya” (Qs. An-Nisa: 6)


Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, seorang muslim diperintahkan untuk (a) Memberi makan mereka, (b) Memberi pakaian, (c) Mendidik mereka, dan (d) Menguji kedewasaan mereka sampai usia menikah sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.


Di sini, ayat Qur'an menyatakan tentang perlunya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil tes yang obyektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta benda kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorang muslim pun yang bertanggung jawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, maka gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hanbal menyatakan, bahwa ‘Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar, seorang tokoh muslim akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun dengan Nabi Muhammad yang berusia 50 tahun. Hal tersebut sama sulitnya untuk membayangkan, bahwa beliau menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.


Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan: "Berapa banyak di antara kita yang percaya, bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mungkin kita percaya, bahwa ‘Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?


Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana daripada kita semua. Jadi, dia akan merasa dalam hatinya, bahwa ‘Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an. Abu Bakar tidak akan menikahkan ‘Aisyah kepada seorang pun. Jika sebuah proposal pernikahan gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Al-Quran.
KESIMPULAN: Pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Al-Quran. Oleh karena itu, cerita pernikahan ‘Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.


BUKTI#9: IJIN DALAM PERNIKAHAN
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dilakukan menjadi sah. Secara Islami, persetujuan yang kredible seorang wanita merupakan syarat dasar bagi keabsahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan, bahwa Abu Bakar, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun. Serupa dengan ini, Nabi Muhammad tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadits Muslim masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena tidak akan memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karean itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi ‘Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

KESIMPULAN AKHIR

Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw. dan ‘Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang Arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan ‘Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisyam ibn ‘Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran karena kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisyam ibn ‘Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisyam ibn ‘Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable (terpercaya). Pernyataan Thabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi ‘Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia ‘Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.


Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia ‘Aisyah 9 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad saw. sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Al-Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan tanggung jawab kepada mereka.
Jadi, berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dikatakan, bahwa alasan Syeh Puji Cahyo yang menikahi gadis di bawah umur disebabkan mencontoh perilaku Nabi Muhammad adalah hal yang tidak tepat. Sebab, jika diteliti lebih mendalam ternyata usia ‘Aisyah ketika menikah dengan Nabi Muhammad adalah berkisar antara 14 - 21 tahun.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan antara Fiqh Al-Lugha dengan Ilmu Al-Lugha

  A.     Pengertian Fiqh al-Lughah dan Ilmu al-Lughah Secara etimologis (dari segi bahasa) kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa kata الفقه     berarti العلم بالشيء و الفهم له   ( pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu) [1] . Singkatnya kata al-fiqh ( الفقه ) = al-’ilm ( العلم ) dan kata faquha ( فقه   ) = ‘alima ( علم ). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah . [2] Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibnu Mansur, beliau mengatakan bahwa istilah “ علم اللغة “ memiliki kesamaan dengan istilah فقه اللغة" “ yaitu dari kata فقه" “dan “ علم “ yang dapat diartikan mengetahui atau memahami [3] . Hal ini diperkuat firman Allah swt. dalam QS; Al-Taubah/9: 122   لِیَتَفَقهوا فِى الدِّیْنِ " أَيْ لِیَكُوْنُوْاعُلَمَاءً بهِ “ " Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” [4] Dengan demikian fiqh al-lughah

Terjemahan Bab Mabni dan Mu'rob kitab Jami'u Duruus

4. Kata من   (man) istifhamiyah atau mausuliyah atau mausufiyah atau syartiyah dengan dua tanda jar maka seperti contoh istifhamiyah: ( (مِمَنْ أَنْتَ تَشْكُرُ؟ dan mausuliyah seperti: ( (خذ العلم عمَنْ تثق به dan mausufiyah seperti: ( (عجبت ممَّنْ لك يؤذيك dan syartiyah seperti: ( (ممَّنْ تبتعد ابتعد . -Kata من   (man) istifhamiyah dengan fa’ jariyah seperti: ( (فِيْمَنْ ترغب ان يكون معك؟ dan لا pada kata an an-nasihah untuk mudhori’ seperti: ( (لئلا يعلم اهل الكتاب tidak ada perbedaan pada contoh sebelumnya. Lam ta’lil jariyah dan lam sebelumnya.Mazhab Jumhur dan Abu Hibban dan pengikutnya berpendapat wajib pada pasal. -Kata لا kata in syartiyah al-jariyah seperti: ( (اِلاَّ تفعلوه تكن فتنة اِلاَّ تنصروه الله - Kata لا pada kata kay seperti: ( (لكيلا يكون عليكحرجٌ dan mereka mengatakan pasal ini adalah wajib.Ada dua perkara yang boleh   yaitu al-waslu dan al-faslu di dalam Al-Quran. MABNI DAN MU’ROB DAN AF’AALNYA -Semua fi’il itu adalah mabni dan bukan mu’rob ke

Cinta yang Semu

 Kisah cintaku tak berjalan mulus, seringkali aku hanya merasakan cinta sepihak. Pernah ketika aku SMP  seorang lelaki mengirimiku surat cinta dengan kertas yang sangat harum. Belum pernah selama hidupku dikirimi surat cinta. Itu adalah hal pertama dan terkahir dalam hidupku. Rasanya aku sangat senang, dan kaget. Bagaimana bisa perempuan tak menarik sepertiku mendapatkan surat cinta dari lelaki rahasia. Ketika aku mengungkapkannya pada sahabatku, lelaki ini adalah siswa di kelas lain. Setelah itu, aku sering memerhatikannya. Selanjutnya benih-benih cinta di dalam hatiku muncul. Aku sempat ingin bertanya langsung padanya, apakah benar dia yang mengirimi aku surat itu. Namun, lambat laun itu semua adalah skenario menyakitkan yang aku alami. Singkatnya, surat itu tidak pernah ada. Bukan dia yang mengirimi aku surat. Tapi, sahabatku sendiri. Aku kecewa dengan sahabatku. Kenapa dia mempermainkan hatiku. Kenyataannya yang paling menyakitkan adalah lelaki itu mencintai sahabatku sendiri. Sete